Papa, Aku Lulus

 Teriring cinta kasih dan hatur syukurku pada papa, yang menatapku di balik awan.

            “Hiduplah Indonesia Raya…” Demikianlah suara parau laki – laki paruh baya yang tengah menggendongku. Ia baru saja usai menyanyikan lagu Indonesia Raya atas permintaan yang meluncur dari bibir mungilku ini. Dengan tatapan hangatnya, ia memerhatikan wajahku yang tak henti tersenyum sembari menepukan tangan untuk lagu yang barusan ia nyanyikan. “Itulah lagu nasional negara kita nak. Lagu yang harus kamu ketahui.” ucapnya lembut. Aku mengangguk dengan tatapan polos. Kuperhatikan sosoknya, postur tubuhnya besar, kuat, dan kulitnya kasar. Namun aku tahu ia memiliki hati yang lembut bagai sutra. Aku tahu ia punya tatapan penuh cinta kepadaku. Aku tahu ia akan mengorbankan segalanya demi aku, putri tercintanya ini. Kupanggil ia… papa.
***
            Perkenalkan namaku Ellisa. Aku tumbuh di sebuah keluarga sederhana. Meskipun hidup sederhana, aku sangat bersyukur karena kedua orang tuaku sangat mencintaiku. Setiap pagi selalu ada sapa senyum dari mereka dan setiap malam selalu ada kecupan sebelum tidur di keningku. Setiap saat hidupku selalu dipenuhi oleh kasih sayang dari kedua orang tuaku. Kasih merekalah yang menguatkan diriku dalam menghadapi gentirnya kehidupan di dunia. Aku tahu mereka akan selalu membangkitkanku, disaat dunia menjatuhkanku karena kekurangan yang kumiliki. Keterbelakangan mental yang kumiliki bukanlah penghalang bagiku, karena aku tahu dua orang hebat akan selalu menepukkan tangannya untukku, mama dan papa.
            Aku selalu terpukau dengan sosok laki – laki tangguh yang lemah lembut. Sosok itu adalah cerminan papa. Papa adalah laki – laki yang paling aku kagumi di dunia ini dan tiada taranya bila dibandingkan dengan yang lain. Papa adalah pribadi teladan bagiku. Kerja keras dan keringatnya ia lakukan semata – mata demi kebaikanku. Aku ingin seperti papa, yang selalu bersemangat dan berusaha keras dalam setiap pekerjaan yang ia lakoni. Ia tidak pernah meremehkan suatu hal sekecil apapun. Kepribadiannya tersebut membuatku semakin cinta pada papa.
            Ketika itu, aku diajak mama dan papa ke suatu lembaga untuk melakukan psikotest untuk mengetahui apakah aku mempunyai potensi untuk bersekolah. Aku teringat dalam usiaku yang menginjak 9 tahun aku masih tidak bisa berbicara dengan jelas. Berbicara saja sulit, apalagi memahami percakapan orang lain. Saat itu aku hanya bisa menangis ketika dihadapkan dengan soal – soal psikotest. Ketika kutengokan kepalaku, aku melihat papa menatapku terus menerus dari balik jendela. Sejenak aku memusatkan pandanganku pada papa tanpa menghiraukan soal psikotest yang seharusnya aku kerjakan. Papa tersenyum kepadaku sambil mengacungkan kedua jempolnya. Aku mengerti bahwa papa pasti sedang berusaha menyemangatiku seperti yang biasa ia lakukan. Untuk itu aku tau aku harus berusaha menaklukan ketakutanku dan menghadapi perang penentuan apakah aku bisa mulai bersekolah atau tidak. Aku harus yakin, suatu saat gerbang cahaya akan terbuka untukku.
            Seminggu kemudian, aku kembali diantar ke lembaga tempat aku melakukan psikotest untuk mengetahui hasil pemeriksaan. Kulihat raut wajah kedua orang tuaku seperti harap - harap cemas. Namun papa sepertinya berusaha menyembunyikan perasaan cemasnya itu dari hadapanku. Saat itu aku memang belum mengerti, tapi aku bisa merasakan perasaan berbeda yang kedua orang tuaku alami. Tak lama kemudian, seorang asisten memanggil kedua orang tuaku untuk memasuki ruangan psikolog. Papa dengan wajah tegarnya menggandengku menuju ruangan tersebut. Seorang psikolog telah menunggu kehadiran kami. Papa mulai angkat bicara kepada psikolog tersebut dengan menanyakan hasil pemeriksaanku. Setelah beberapa menit berbicara. Tiba – tiba papa berkata, “Tolonglah beri anak saya kesempatan untuk melakukan test ini sekali lagi bulan depan. Saya yakin dia bisa.”. Psikolog itu terdiam. Akhirnya ia mengangguk tanda menyetujui permohonan papa. Papa menghela nafas lega. Kemudian mereka saling berjabat tangan dan kami pun keluar dari ruangan itu. Aku kebingungan memandang papa. Papa kembali tersenyum menatapku sembari mengelus puncak kepalaku. Papa mengatakan bahwa aku pasti bisa bersekolah jika aku mengikuti test ini sekali lagi. Aku yang melihat ekspresi gembira papa pun turut merasakan kegembiraan itu.
            Esoknya, papa mengajakku ke halaman belakang rumah. Di sana ternyata papa ingin mengenalkan aku pada isi halaman belakang rumah. Kemudian papa menujuk pada salah satu benda berwujud besi yang bersandar di batang pohon mangga dan menanyakan benda apa itu. Aku berusaha mengingat baik – baik apa yang pernah papa ajarkan padaku. Dengan lantang aku menjawab bahwa itu adalah tangga. Papa mengacungkan jempolnya lalu lanjut bertanya apa kegunaan dari benda itu. Dengan lantang pula aku mengatakan bahwa papa menggunakan tangga untuk mengambil mangga kalau buahnya sudah matang. Papa tertawa kecil saat mendengar jawabanku dan kembali ia mengacungkan jempolnya padaku. Hari itu dipenuhi keceriaan belajar bersama papa.
            Hari demi hari menjelang test ulang aku semakin semangat untuk belajar ditambah dorongan dari papa yang selalu menyemangatiku. Semakin lama kemampuanku bertambah baik. Sekarang aku sudah bisa mengenali benda – benda dengan jelas, lafal perkataanku juga sudah cukup jelas. Aku sangat senang mengetahui perkembanganku yang pesat ini. Semua berkat papa yang tak jera membimbingku dalam belajar.
            Pagi itu, aku kembali dihadapkan pada soal psikotest untuk mendapatkan hasil akhir yang dapat membuka kesempatan untukku bersekolah. Berbeda dari bulan lalu, kali ini aku yakin dapat mengerjakan soal – soal itu dengan baik. Aku kuat karena aku tahu papa akan selalu ada di dasar hatiku untuk menyemangatiku. Psikolog yang mengawasiku juga terlihat senang mengetahui kemajuanku yang pesat ini.
            Hari ini adalah hari yang kutunggu – tunggu. Penentuan akan nasibku akan diumumkan hari ini. Di samping kiri dan kananku ada mama dan papa yang terlihat optimis. Psikolog menjelaskan hasil test kepada papaku. Akhirnya, kata yang selama ini kutunggu hinggap di telingaku. Sebuah senyuman terlukis di pipiku mendengar kata bahwa aku “lulus” test ini dan aku diperbolehkan bersekolah. Papa memelukku erat dan mengecup keningku. “Selamat sayang! Kamu hebat!” ucap papa.
            Kini aku sudah bersekolah dan duduk di kelas 3 SD. Hari – hari di sekolah kulewati dengan penuh semangat, walaupun mungkin terkadang aku mengalami sedikit kesulitan dalam memahami pelajaran. Papa selalu ada untuk mendukungku dan membimbingku. Bersama papa aku tumbuh menjadi gadis seperti gadis normal pada umumnya. Aku tak tahu jika papa tiada menyemangatiku, apa yang akan terjadi dengan kehidupanku. Aku tak tahu berapa banyak badai topan lagi yang harus kuhadang jika tak bersama papa. Pikiran itu menghantuiku. Pikiran itu perlahan menjadi ketakutan bagiku. Firasatku berubah menjadi tak enak. Aku cemas.
            Waktu demi waktu berlalu, hari ini aku merayakan ulang tahunku yang 14. Papa mengajakku dan mama untuk merayakan ulang tahunku di sebuah restoran. Aku sangat senang bisa merayakan ulang tahun bersama keluarga walaupun hanya sekedar makan – makan. Kebersamaan ini adalah saat terindah dalam hidupku. Namun, kebersamaan ini ternyata adalah yang terakhir kuhabiskan bersama keluargaku. Insiden itu terjadi, Ketakutanku selama ini menjadi nyata. Dan aku melihat dengan mata kepalaku sendiri tragedi itu, tragedi di hari ulang tahunku.
            Kecelakaan maut menghampiri keluarga kami. Sebuah truk pengangkut batu bata menabrak mobil yang keluarga kami tumpangi. Papa yang saat itu berada di sisi kanan terhantam truk itu dengan keras. Mobil kami pun rusak. Kami segera dilarikan ke rumah sakit oleh para saksi mata. Aku dan mama hanya mengalami luka ringan, namun papa mengalami luka serius di bagian kepala. Kepala papa mengalami kebocoran. Aku yang saat itu mengetahui keadaan papa menangis sejadi – jadinya. Pandangan mataku tak lepas dari papa yang segera dibawa ke ruang operasi. Aku dan mama menunggu di luar ruang operasi dengan cemas. Aku terus berdoa demi keselamatan papa. “Tuhan, berikan kesembuhan pada papa. Aku masih ingin terus bersama papa. Aku tak tau hidupku tanpa papa bagaimana jadinya. Sembuhkanlah papa.” Dua jam berlalu, dokter keluar dari ruang operasi dan meminta kami untuk masuk ke dalam ruang operasi. Suasana sangat mencekam, para asisten dan dokter angkat tangan. Pada saat itu papa masih tidak sadarkan diri. Aku menghampiri papa dengan penuh air mata. Aku mengelus kepala papa dan kukecup keningnya. Dalam hati aku terus berharap papa akan membuka matanya, setidaknya untuk melihatku terakhir kalinya. Kubisikkan di telinga papa, “Papa, aku mohon, bangunlah sebentar, aku ingin mengatakan sesuatu.”
            Keajaiban pun terjadi. Papa tersadar dari komanya. Seketika aku takjub dan bersyukur doaku dikabulkan. “Papa…” ucapku lembut. Papa kembali tersenyum menatapku. Tangannya yang begitu lemah tak sanggup untuk mengelus kepalaku. Kugenggam erat tangan papa. Kemudian aku berkata, “Papa, aku ingin mengucapkan sesuatu pada papa. Aku ingin berterima kasih atas semua pengorbanan dan kasih sayang papa kepada aku. Terima kasih telah merawatku dengan baik bersama mama. Aku mencintai papa, kapanpun dan dimanapun papa berada, papa akan selalu hidup di dasar hatiku.” Kuletakkan tangan papa di dadaku. Aku berusaha tersenyum pada papa agar papa dapat meninggalkan kami semua dengan tenang. Dengan suara lemah papa membalas ucapanku, “Te..ri..ma..ka..sih anak..ku. Pa..pa ju..ga men..cin..tai..mu.” Papa tersenyum, senyuman terindah yang pernah kulihat. Sedetik kemudian papa menghembuskan nafas terakhirnya dalam keadaan tersenyum. Aku terus berusaha tersenyum, walaupun air mataku terus bercucuran. Aku berusaha mengikhlaskan kepergian papa walau sulit bagiku. Aku hanya berharap dalam hatiku semoga papa berbahagia di surga.
            Pada awal kepergian papa, suasana rumah menjadi sepi. Tak ada suara berat laki – laki yang mengisi rumah. Aku sempat putus asa. Aku merasa tak sanggup menjalani hidup tanpa papa. Tapi aku segera tersadar ketika melihat sebuah tangga yang menyandar di batang pohon mangga halaman belakang rumahku. Aku ingat ketika melewati masa – masa sulit bersama papa. Kenangan itu akan tetap hidup dalam benakku. Aku segera bangkit dan melanjutkan perjuanganku. Walaupun sosok konkrit papa tak menyertaiku. Namun semangat yang ia wariskan akan selalu hidup dalam hatiku. Kemanapun aku melangkah, semangat itu akan membangkitkanku. “Papa selalu ada di sini, di hatiku.”
            Sembilan tahun telah berlalu sejak kepergian papa. Aku sendiri telah tumbuh menjadi gadis remaja yang duduk di kelas 3 SMA. Aku sudah bisa menjalani hidup dengan normal. Semua ini tak lain adalah berkat iringan doa dan semangat yang selalu terwarisi dalam hatiku. Sebentar lagi aku akan menghadapi ujian nasional untuk meluluskan diriku dari sekolah. Ini adalah babak final dari perjuanganku selama bersekolah. Selama hari – hari ujian, aku belajar dengan giat. Di meja belajarku, kuletakkan foto papa yang terbingkai manis. Sesekali aku pandangi foto itu kemudian aku tersenyum dan melanjutkan kegiatan belajarku. “Terima kasih papa, telah menemaniku belajar.” ucapku mengakhiri kegiatan belajar. “Pa, doakan aku ya, semoga aku bisa mengerjakan ujian dengan baik.”.
            Waktu ujian pun tiba, aku mengerjakan soal dengan tekun. “Aku harus menunjukkan hasil yang terbaik untuk papa. Papa pasti akan senang.” gumamku sewaktu ujian. Selama ini, papa selalu berusaha menguatkanku. Papa selalu berusaha memberikan yang terbaik untukku. Kini giliranku menunjukkan yang terbaik untuk papa. Semua ini belum terlambat. Papa pasti mendengar doa dan tekadku di sana.
            Sebulan berlalu. Hari ini adalah hari pengumuman kelulusan. Perasaan deg – degan hinggap di benakku menanti hasil ujian. Dan suasana seketika berubah ketika salah seorang guru mengatakan bahwa kami semua lulus. Suasana riuh, penuh dengan sorak sorai kemenangan. Aku sendiri turut senang. Pengumuman belum selesai. Ternyata akan diumumkan siapa murid yang memperoleh nilai tertinggi. Dan penghargaan itu ternyata jatuh kepadaku. Aku segera menutup mulutku yang membulat. Aku maju ke tengah lapangan dengan perasaan senang dan haru. Usahaku selama ini tak sia – sia. Aku memang pernah mengalami keterbelakangan mental, tapi lihatlah sekarang. Namaku tertera sebagai peraih nilai ujian tertinggi. “Papa, aku berhasil papa, papa melihatku kan?”
            Inilah aku, Ellisa. Seorang gadis dengan keterbelakangan mental yang berusaha melawan semua rintangan dalam kehidupanku. Papa adalah sosok yang sangat berperan dalam hidupku. Ialah yang menyemangatiku. Ialah yang membimbingku. Ialah yang rela mengorbankan segalanya demi aku. Ialah yang berhasil membimbingku hingga terlepas dari kekuranganku ini. Ialah pemilik senyum terindah di bumi ini. Ialah sang mentari yang selalu menyinari hidupku sampai kapanpun. Dialah keabadian di dalam hatiku, kini dan nanti. Sebuah kado kecil dariku untuk papa yang menatapku di balik awan. Terima kasih papa, inilah kado untukmu. “Papa, aku lulus.”

-Sekian- 

Diva Angelia
2014

Comments

Post a Comment